Kamis, 30 Juni 2016

PENDIDIKAN INKLUSI MENURUT J. DAVID SMITH DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.          LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan adalah prioritas utama yang sangat penting karena pendidikan dapat mengubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak baik menjadi baik, Pendidikan mengubah semuanya. Begitu penting Pendidikan, sehingga pendidikan merupakan suatu hak dan kewajiban bagi setiap orang untuk menempuh dan memperolehnya.
Pendidikan nasional berusaha menciptakan keseimbangan antara pemerataan kesempatan dan berkeadilan. Pemerataan kesempatan berarti membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara dari berbagai lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Dasar tahun 1945, Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang menunjang keberlangsungan pendidikan.
Pemerintah melalui pendidikan nasional diharapkan dapat memberikan pendidikan yang berkualitas agar tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[1]
Pada dasarnya tujuan pendidikan ialah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Sesungguhnya setiap anak mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda pula dan karena itu membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula.[2]
Di dalam Islam, pendidikan sangatlah penting terbukti dengan diturunkannya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira yaitu surat yang didalamnya berisi perintah membaca atau mencari ilmu. Perintah itu terdapat dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5 :
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ      
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata Iqra digunakan dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, dan arena objeknya bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang terjangkau, baik ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia yang menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Alhasil perintah Iqra mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.[3] Apa saja yang harus dibaca atau dipelajari ? jika kita merujuk pada ayat diatas, yang harus dipelajari adalah sebagai berikut[4] :
1.      Memahami wujud Allah dengan ilmu tauhid sehingga nilai-nilai keilahian menjadi barometer dan tujuan Pendidikan dalam Islam.
2.      Proses penciptaan yang dilakukan Allah terhadap alam dan isinya sehingga manusia meyakini tugasnya sebagai khalifah dan kewajiban memelihara jagat raya ini.
3.      Perkembangan intelektualitas manusia sehingga manusia semakin dewasa dalam menghadapi masalah dan memecahkannya.
Semua ilmu pengetahuan akan meningkatkan kecerdasan manusia dan memberitahu kepada semua yang belum mengetahuinya.
Makhluk Allah yang mempunyai harakat dan martabat yang paling tinggi di antara makhluk-makhluk lainnya adalah manusia. Manusia Sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya, ia dianugerahi beberapa kemampuan dasar atau potensi dasar. Potensi ini dalam dunia pendidikan Islam lebih dikenal dengan istilah “al-fitrah”. Kemampuan dasar ini memiliki kecenderungan tumbuh dan berkembang tahap demi tahap menuju ke arah yang lebih sempurna.[5]
Ada dua unsur penting dari Struktur kejadian manusia yaitu  unsur fisik (jasmaniah) dan unsur psikis (rohaniah). Kedua unsur tersebut mengalami perubahan-perubahan secara berkesinambungan. Keduanya berkembang dan saling mempengaruhi, bahkan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya dikenal dengan istilah psiko-fisik. Unsur psiko-fisik manusia berkembang secara integral dan selalu berfungsi, berhubungan secara timbal-balik dengan penuh keseimbangan dan bersifat harmonis dalam diri manusia. Keduanya harus berjalan serasi dan selaras dalam seluruh gerak dari fungsi organ-organ psikis dan fisiknya. Unsur-unsur fisik lebih sering diistilahkan dengan “biologis” sedangkan unsur-unsur psikis lebih sering disebut dengan istilah “psikologis”. [6]
Di muka bumi ini tidak semua manusia beruntung, ada sebahagian manusia yang tidak sempurna atau lebih dikenal dengan istilah cacat baik dari segi fisik maupun dari segi mentalnya. Mereka mempunyai hak yang sama seperti manusia normal di dalam memperoleh pendidikan. Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa muslim laki-laki dan perempuan wajib menuntut ilmu atau berhak dalam memperoleh pendidikan. Mereka juga berhak memperoleh pendidikan seperti manusia normal pada umumnya. Jadi, tidak ada diskriminasi di dalam memperoleh pendidikan maupun tempat berpendidikan bagi anak yang tidak normal atau cacat.
 Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat signifikan di Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan karakter, sehingga masyarakat yang tercipta merupakan cerminan masyarakat Islami. Dengan demikian Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Pendidikan Islam bersumber pada nilai-nilai agama Islam di samping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut.[7]
Namun, hingga kini pendidikan Islam masih menghadapi beberapa tantangan. Tantangan pendidikan Agama Islam terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, yaitu jika kualitas pendidikan menurun maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan ketakwaan.
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna. Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Hal ini merupakan masalah terpenting jika menginginkan efektifitas pengajaran dan masalah ini sebagian akan terpecahkan dengan memperbaiki beberapa sektor di dalam pengajaran yang dilakukan oleh pendidik di dalam kelas.
Pendidikan Inklusi merupakan pendidikan yang menampung semua peserta didik yang beragam pada kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Lebih dari itu, sekolah Inklusi juga merupakan tempat setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.[8]
Jika siswa, orangtua, guru, dan sekolah tumbuh dalam suatu lingkungan dengan keterbukaan dan sensitifitas yang sangat kondusif bagi tiap individu dan mempunyai kesadaran pembaruan untuk setiap misinya, maka suasana kepercayaan dan kerjasama yang meningkat dapat tercipta. Keterlibatan semua orang dalam mempersiapkan siswa-siswa yang memiliki hambatan dalam kehidupan masyarakat yang lebih terbuka harus saling dibicarakan. Akhirnya, pendidikan bagi siswa-siswa ini harus dilakukan dengan usaha-usaha yang dirancang secara individual yang sebenarnya, yang dapat menjamin baik kebutuhan inklusi, kebutuhan bagi layanan pembelajaran khusus, maupun lingkungan yang mendukung sehingga siswa-siswa dapat memperoleh keberhasilan akademis. semua pendidik harus punya ‘rasa memiliki’ pada semua siswa, termasuk yang menyandang hambatan. Pada saat bersamaan, penting bahwa lingkungan dan jaminan bagi program pendidikan individual, dukungan keterlibatan orangtua, tersedianya guru yang dilatih secara khusus sebagai ahli terapi, serta ketetapan pelayanan remidi pengembangan dan terapis, hendaknya selalu dipertahankan. Pencapaian program layanan pendidikan individual bagi setiap siswa merupakan suatu proses yang dinamis. Karena itu, keputusan-keputusan mengenai perpaduan layanan pendidikan khusus yang efektif dan praktik Inklusi harus terus dikaji kembali dan diperbarui untuk memberikan yang terbaik bagi siswa-siswa.[9]
Salah satu tokoh dalam pendidikan Inklusi yaitu  J. David Smith, beliau memberikan cara pandang mengenai inklusi dengan pembahasan yang luas dan memadai dan pemikiran beliau sangat berguna bagi para guru untuk lebih mengenali karakter anak berkebutuhan khusus dan anak normal. Smith ialah sosok pendidik, pemikir dan juga peneliti yang menawarkan pemikirannya tentang pendidikan inklusi untuk masyarakat pada umumnya dan anak-anak yang masih sekolah pada khususnya. Melalui bukunya “Inclusion, School for All Student” yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua”/ “Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusi” memberi arti bahwa Inklusi bagi semua siswa bukan hanya sekedar harapan belaka, akan tetapi menjadi tujuan pendidikan yang harus dicapai bagi semua anak yang berusia sekolah, termasuk anak berkelainan.[10] Selain itu, beliau mengharuskan dalam pengajaran dan tenaga pengajar mempunyai rasa penuh kasih sayang, kreatif, serta berkemampuan cukup sehingga bisa menciptakan ruang kelas yang Inklusi bagi semua siswa dan lingkungan pengajaran yang bisa menerima berbagai ragam karakter siswa. [11]
John David Smith, atau yang lebih dikenal dengan J. David Smith adalah salah seorang tokoh pemerhati pendidikan dari Amerika Serikat dan beliau banyak mengungkapkan pemikirannya di dalam sebuah buku termasuk buku tentang pendidikan Inklusi yang didalamnya terdapat beberapa pemikiran beliau yang juga dapat diterapkan dalam pendidikan Islam di Indonesia seperti Menciptakan suasana sekolah yang menghargai Multikultur, kita mengetahui bahwa Indonesia memiliki beragam suku, budaya dan agama. Jadi di dalam pendidikannya haruslah menghargai setiap suku, budaya, agama, ras, kelas, kelamin, atau perbedaan lainnya, lebih menganggap sebagai keserupaan daripada perbedaan. Menciptakan suasana persamaan gender di sekolah, di dalam pendidikan Indonesia secara umum memang tidak terlihat adanya diskriminasi gender, semua akan terlihat jika memasuki wilayah kelas di sekolah, seperti contohnya sebagian guru banyak bicara pada murid laki-laki karena anak laki-laki lebih berani dibandingkan anak perempuan untuk berbicara selama diskusi dan guru-guru menerima sikap mereka. bila murid perempuan bicara, sebagian guru tidak mendukung dan mengoreksi sikap mereka. Anak laki-laki dalam penelitian yang dilakukan oleh Sadker dan Stulberg mendapat lebih banyak perhatian dibandingkan anak perempuan.[12] Menerima perbedaan manusia, lembaga sekolah harus menjadi lembaga yang berperhatian, dimana siswa, guru, supir bus jemputan, penjaga kantin, kepala sekolah dan semua yang lain menerima penegasan yang positif mengenai kebaikan, empati, dan perhatian. Setiap orang yang turut serta di dalam pendidikan butuh kesempatan bekerja dan menikmati kebersamaan, membentuk kedekatan, serta membagi keberhasilan dan kegagalan.
Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim, banyak lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang harus mengambil peran aktif dalam pengembangan pendidikan Inklusi agar sumber daya manusia dan pembangunan karakter masyarakat dapat tercipta dah merupakan cerminan masyarakat Islami. Dengan demikian Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Inilah alasan utama pemikiran J. David Smith penting untuk dibahas oleh peneliti dengan di relevansikan ke dalam Realisasi Pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia dan Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik melakukan Penelitian mengenai Pendidikan Inklusi menurut J. David Smith, untuk mengetahui lebih dalam bagaimana Konsep dan Penerapan Pembelajaran Pendidikan Inklusi menurut J. David Smith dan bagaimana Relevansinya terhadap Realisasi Pelaksanaan Pendidikan Islam di Indonesia Dewasa ini.


[1] Murip Yahya, Pengantar Pendidikan, (Bandung: Prospect, 2008), h. 84
[2] Utami Munandar,  Pengembangan Kreatifitas Anak Berbakat, cet I (Jakarta: PT Rineka Cipta,1999), h. 6
[3]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keseharian “Juz ‘Amma” jilid 15  (Jakarta, Lentera Hati, 2002), h. 393
[4]Beni Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung , CV Pustaka Setia, 2009), cet. Ke-1, h. 10
[5]Husnizar, Konsep Subjek Didik Dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Raniri Press IAIN, 2007), Cet I,  h. 1
[6]Husnizar, Konsep Subjek Didik Dalam Pendidikan Islam, Cet I,  h. 1
[7] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II (Bandung: CV Pustaka Setia. 1999), hlm. 15.
[8] Juang Sunanto, dkk. (ed), First Annual Inclusive Education, Practices Conference, (Bandung : Rizqi Press, 2010), h. 22.
[9] J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 52-53.
[10] J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua, (Bandung: Nuansa, 2009), Cet. II, h. 18.
[11] J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusi, (Bandung: Nuansa, 2009), Cet. III, h. 23.
[12] J. David Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusi, (Bandung: Nuansa, 2009), Cet. III, h. 370.