BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan adalah prioritas utama yang sangat penting
karena pendidikan dapat mengubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu. Dari
tidak baik menjadi baik, Pendidikan mengubah semuanya. Begitu penting Pendidikan,
sehingga pendidikan merupakan suatu hak dan kewajiban bagi setiap orang untuk
menempuh dan memperolehnya.
Pendidikan nasional berusaha menciptakan
keseimbangan antara pemerataan kesempatan dan berkeadilan. Pemerataan
kesempatan berarti membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara
dari berbagai lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan
Undang-Undang Dasar tahun 1945, Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan dan pemerintah wajib untuk menyediakan sarana dan prasarana
pendidikan yang menunjang keberlangsungan pendidikan.
Pemerintah melalui pendidikan nasional
diharapkan dapat memberikan pendidikan yang berkualitas agar tercapainya tujuan
pendidikan nasional yaitu berkembangnya peserta didik menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[1]
Pada dasarnya tujuan pendidikan ialah
menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat
dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan
berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan
masyarakat. Sesungguhnya setiap anak mempunyai bakat dan kemampuan yang
berbeda-beda pula dan karena itu membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula.[2]
Di dalam Islam, pendidikan sangatlah
penting terbukti dengan diturunkannya
wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira yaitu surat yang didalamnya
berisi perintah membaca atau mencari ilmu. Perintah itu terdapat dalam surat
Al-‘Alaq ayat 1-5 :
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ
t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ
ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ
Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ
zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena.
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-‘Alaq : 1-5).
Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata Iqra digunakan
dalam arti membaca, menelaah, menyampaikan dan sebagainya, dan arena objeknya
bersifat umum, maka objek kata tersebut mencakup segala yang terjangkau, baik
ia merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik ia yang
menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Alhasil perintah
Iqra mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta
bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.[3] Apa saja
yang harus dibaca atau dipelajari ? jika kita merujuk pada ayat diatas, yang
harus dipelajari adalah sebagai berikut[4] :
1.
Memahami wujud Allah dengan ilmu tauhid sehingga nilai-nilai keilahian
menjadi barometer dan tujuan Pendidikan dalam Islam.
2.
Proses penciptaan yang dilakukan Allah terhadap alam dan isinya sehingga
manusia meyakini tugasnya sebagai khalifah dan kewajiban memelihara jagat raya
ini.
3.
Perkembangan intelektualitas manusia sehingga manusia semakin dewasa
dalam menghadapi masalah dan memecahkannya.
Semua ilmu pengetahuan akan meningkatkan
kecerdasan manusia dan memberitahu kepada semua yang belum mengetahuinya.
Makhluk Allah
yang mempunyai harakat dan martabat yang paling tinggi di antara
makhluk-makhluk lainnya adalah manusia. Manusia Sebagai makhluk yang paling
tinggi derajatnya, ia dianugerahi beberapa kemampuan dasar atau potensi dasar.
Potensi ini dalam dunia pendidikan Islam lebih dikenal dengan istilah
“al-fitrah”. Kemampuan dasar ini memiliki kecenderungan tumbuh dan berkembang
tahap demi tahap menuju ke arah yang lebih sempurna.[5]
Ada dua unsur
penting dari Struktur kejadian manusia yaitu unsur fisik (jasmaniah)
dan unsur psikis (rohaniah). Kedua unsur tersebut mengalami perubahan-perubahan
secara berkesinambungan. Keduanya berkembang dan saling mempengaruhi, bahkan
tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya dikenal dengan istilah
psiko-fisik. Unsur psiko-fisik manusia berkembang secara integral dan selalu
berfungsi, berhubungan secara timbal-balik dengan penuh keseimbangan dan
bersifat harmonis dalam diri manusia. Keduanya harus berjalan serasi dan
selaras dalam seluruh gerak dari fungsi organ-organ psikis dan fisiknya.
Unsur-unsur fisik lebih sering diistilahkan dengan “biologis” sedangkan
unsur-unsur psikis lebih sering disebut dengan istilah “psikologis”. [6]
Di muka bumi
ini tidak semua manusia beruntung, ada sebahagian manusia yang tidak sempurna
atau lebih dikenal dengan istilah cacat baik dari segi fisik maupun dari segi
mentalnya. Mereka mempunyai hak yang sama seperti manusia normal di dalam
memperoleh pendidikan. Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa muslim laki-laki dan
perempuan wajib menuntut ilmu atau berhak dalam memperoleh pendidikan. Mereka
juga berhak memperoleh pendidikan seperti manusia normal pada umumnya. Jadi, tidak
ada diskriminasi di dalam memperoleh pendidikan maupun tempat berpendidikan bagi
anak yang tidak normal atau cacat.
Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas
muslim, pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat signifikan di Indonesia
dalam pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan karakter, sehingga
masyarakat yang tercipta merupakan cerminan masyarakat Islami. Dengan demikian
Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Pendidikan Islam bersumber
pada nilai-nilai agama Islam di samping menanamkan atau membentuk sikap hidup
yang dijiwai nilai-nilai tersebut.[7]
Namun, hingga
kini pendidikan Islam masih menghadapi beberapa tantangan. Tantangan pendidikan Agama Islam terkait dengan tantangan
dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia, yaitu jika kualitas pendidikan menurun maka kualitas
sumber daya manusia juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan
ketakwaan.
Pendidikan yang
efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat
belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer)
dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran
tersebut dapat berguna. Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah.
Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah
satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum
kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan
pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai
gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Hal ini merupakan
masalah terpenting jika menginginkan efektifitas pengajaran dan masalah ini
sebagian akan terpecahkan dengan memperbaiki beberapa sektor di dalam
pengajaran yang dilakukan oleh pendidik di dalam kelas.
Pendidikan Inklusi merupakan
pendidikan yang menampung semua peserta didik
yang beragam pada kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan
yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik. Lebih dari
itu, sekolah Inklusi juga merupakan tempat setiap anak diterima menjadi bagian
dari kelas tersebut dan saling membantu agar kebutuhan individualnya dapat
terpenuhi.[8]
Jika siswa, orangtua, guru,
dan sekolah tumbuh dalam suatu lingkungan dengan keterbukaan dan sensitifitas
yang sangat kondusif bagi tiap individu dan mempunyai kesadaran pembaruan untuk
setiap misinya, maka suasana kepercayaan dan kerjasama yang meningkat dapat
tercipta. Keterlibatan semua orang dalam mempersiapkan siswa-siswa yang
memiliki hambatan dalam kehidupan masyarakat yang lebih terbuka harus saling
dibicarakan. Akhirnya, pendidikan bagi siswa-siswa ini harus dilakukan dengan
usaha-usaha yang dirancang secara individual yang sebenarnya, yang dapat menjamin
baik kebutuhan inklusi, kebutuhan bagi layanan pembelajaran khusus, maupun
lingkungan yang mendukung sehingga siswa-siswa dapat memperoleh keberhasilan
akademis. semua pendidik harus punya ‘rasa memiliki’ pada semua siswa, termasuk
yang menyandang hambatan. Pada saat bersamaan, penting bahwa lingkungan dan
jaminan bagi program pendidikan individual, dukungan keterlibatan orangtua,
tersedianya guru yang dilatih secara khusus sebagai ahli terapi, serta
ketetapan pelayanan remidi pengembangan dan terapis, hendaknya selalu
dipertahankan. Pencapaian program layanan pendidikan individual bagi setiap
siswa merupakan suatu proses yang dinamis. Karena itu, keputusan-keputusan
mengenai perpaduan layanan pendidikan khusus yang efektif dan praktik Inklusi
harus terus dikaji kembali dan diperbarui untuk memberikan yang terbaik bagi
siswa-siswa.[9]
Salah satu
tokoh dalam pendidikan
Inklusi yaitu J. David Smith, beliau memberikan cara pandang
mengenai inklusi dengan pembahasan yang luas dan memadai dan pemikiran beliau
sangat berguna bagi para guru untuk lebih mengenali karakter anak berkebutuhan
khusus dan anak normal. Smith ialah sosok pendidik, pemikir dan juga peneliti yang menawarkan pemikirannya tentang pendidikan inklusi untuk
masyarakat pada umumnya dan anak-anak yang masih sekolah pada khususnya. Melalui
bukunya “Inclusion, School for All Student” yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Inklusi Sekolah Ramah Untuk
Semua”/ “Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusi” memberi arti bahwa Inklusi
bagi semua siswa bukan hanya sekedar harapan belaka, akan tetapi menjadi tujuan
pendidikan yang harus dicapai bagi semua anak yang berusia sekolah, termasuk
anak berkelainan.[10] Selain
itu, beliau mengharuskan dalam pengajaran dan tenaga pengajar mempunyai rasa
penuh kasih sayang, kreatif, serta berkemampuan cukup sehingga bisa menciptakan
ruang kelas yang Inklusi bagi semua siswa dan lingkungan pengajaran yang bisa
menerima berbagai ragam karakter siswa. [11]
John David
Smith, atau yang lebih dikenal dengan J. David Smith adalah salah seorang tokoh
pemerhati pendidikan dari Amerika Serikat dan beliau banyak mengungkapkan
pemikirannya di dalam sebuah buku termasuk buku tentang pendidikan Inklusi yang
didalamnya terdapat beberapa pemikiran beliau yang juga dapat diterapkan dalam
pendidikan Islam di Indonesia seperti Menciptakan suasana sekolah yang menghargai
Multikultur, kita mengetahui bahwa Indonesia memiliki beragam suku, budaya dan
agama. Jadi di dalam pendidikannya haruslah menghargai setiap suku, budaya,
agama, ras, kelas, kelamin, atau perbedaan lainnya, lebih menganggap sebagai
keserupaan daripada perbedaan. Menciptakan suasana persamaan gender di sekolah,
di dalam pendidikan Indonesia secara umum memang tidak terlihat adanya
diskriminasi gender, semua akan terlihat jika memasuki wilayah kelas di
sekolah, seperti contohnya sebagian guru banyak bicara pada murid laki-laki
karena anak laki-laki lebih berani dibandingkan anak perempuan untuk berbicara
selama diskusi dan guru-guru menerima sikap mereka. bila murid perempuan
bicara, sebagian guru tidak mendukung dan mengoreksi sikap mereka. Anak laki-laki
dalam penelitian yang dilakukan oleh Sadker dan Stulberg mendapat lebih banyak
perhatian dibandingkan anak perempuan.[12] Menerima perbedaan manusia, lembaga sekolah harus
menjadi lembaga yang berperhatian, dimana siswa, guru, supir bus jemputan,
penjaga kantin, kepala sekolah dan semua yang lain menerima penegasan yang
positif mengenai kebaikan, empati, dan perhatian. Setiap orang yang turut serta
di dalam pendidikan butuh kesempatan bekerja dan menikmati kebersamaan,
membentuk kedekatan, serta membagi keberhasilan dan kegagalan.
Indonesia
adalah negara yang
berpenduduk mayoritas muslim, banyak lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang harus mengambil peran aktif dalam
pengembangan pendidikan
Inklusi agar sumber daya manusia dan pembangunan karakter masyarakat dapat tercipta dah merupakan cerminan masyarakat Islami.
Dengan demikian Islam benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Inilah
alasan utama pemikiran J. David Smith penting untuk dibahas oleh peneliti
dengan di relevansikan ke dalam Realisasi Pelaksanaan pendidikan
Islam di Indonesia dan Berangkat dari
latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik melakukan Penelitian mengenai
Pendidikan Inklusi menurut J. David Smith, untuk
mengetahui lebih dalam bagaimana Konsep dan
Penerapan Pembelajaran Pendidikan Inklusi menurut J. David Smith dan bagaimana
Relevansinya terhadap Realisasi Pelaksanaan Pendidikan Islam di Indonesia
Dewasa ini.
[2] Utami Munandar, Pengembangan
Kreatifitas Anak Berbakat, cet I (Jakarta: PT Rineka Cipta,1999), h. 6
[3]M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keseharian “Juz ‘Amma”
jilid 15 (Jakarta, Lentera Hati,
2002), h. 393
[4]Beni
Ahmad Saebani,
Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam 1, (Bandung , CV
Pustaka Setia, 2009), cet. Ke-1, h. 10
[5]Husnizar, Konsep Subjek
Didik Dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Raniri Press IAIN, 2007), Cet
I, h. 1
[6]Husnizar, Konsep Subjek
Didik Dalam Pendidikan Islam, Cet I,
h. 1
[8] Juang Sunanto, dkk. (ed), First Annual Inclusive Education, Practices
Conference, (Bandung : Rizqi Press, 2010), h. 22.
[9] J. David Smith (Pen), Moh.
Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan
Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusi, h. 52-53.
[10] J. David
Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua, (Bandung: Nuansa, 2009), Cet.
II, h. 18.
[11] J. David
Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusi, (Bandung: Nuansa,
2009), Cet. III, h. 23.
[12] J. David
Smith (Pen), Moh. Sugiarmin, MIF Baihaqi (ed), Konsep dan Penerapan Pembelajaran Sekolah Inklusi, (Bandung:
Nuansa, 2009), Cet. III, h. 370.
Assalamualaikum....
BalasHapusmohon izinkan kami bertanya? apakah penelitaian tesis ini milik bapak? klo ia kami mohon Nama lengkap bapak karena kami mau jadikan penelitian terdahulu. terimkasih